Alir Bening's Blog

Minggu, 10 Januari 2016

Resensi Buku: Alive

Hai, Guys! Apa kabar? Maaf ya, aku jarang posting di sini. Banyak tugas a.k.a. sibuk. Puufft, maklumlah anak eSeMPe (ceritanya pamer :D ).
Okey, aku ngeluangin waktu untuk nge-blog di sini (emang blog lu berapa, Lir :D ). Kali ini, aku bakal posting yah ... resensi buku. Kalian pasti tahu, kan, apa itu resensi buku? Resensi a.k.a. review menurut aku itu membaca atau melihat ulang, seputar hal-hal menarik yang ada di buku tersebut.
.
.
.
Tanpa basa-basi, langsung saja, ya, aku mulai.
.
.
.
Judul: Alive
Penulis: Evangelina Tessia Pricilla
Penerbit: DAR! Mizan
Seri: Fantasteen
Terbit: Oktober 2014
Blurb:
Dengan bantuan Zarra, Sassha mencari kebenaran di balik mimpi yang menghantuinya. Mereka berdua menyambangi sebuah rumah tua untuk menemukan bukti perihal rencana pembunuhan ayah Sassha.
Namun, ada hal yang tidak terelakkan saat kelak kebenaran terkuak. Sassha adalah manusia yang sedang menjalani kehidupan kedua. Kesempatan hidupnya telah habis. Sassha akan segera menghilang dan terlupakan, bahkan oleh Zarra sekalipun.
Hanya kau yang dapat mengingatnya.
.
.
.
Resensi:
Dadaku merasa sesak melihat semua ini. Menghirup bau gosong sebuah rumah yang sebentar lagi habis dilahap api. Dadaku rasanya lebih sesak lagi ketika melihat anak sebaya denganku sedang berusaha mencari cara keluar dari bencana itu. Dengan sepasang mata aku dapat melihat dia benar-benar membutuhkan bantuan. Aku ingin membantunya, tetapi badan ini sulit digerakkan. Tubuhku serasa patung. Seolah-olah aku hanya diinginkan menjadi saksi kematian korban kebakaran.
(halaman 11)

Aku melihat ... gadis itu tenggelam dalam lautan api. Aku juga melihat bagaimana tangannya melambai meminta pertolongan. Beberapa waktu kemudian tangan itu berhenti bergerak. Dia ... masih hidupkah?
Suara yang lumayan cempreng membangunkanku dari mimpi buruk.
(halaman 12)

Hari ini, ada yang berbeda karena wali kelas tiba-tiba menggunakan sedikit jam pelajaran Matematika dengan membawa seorang anak perempuan. Namanya Zarra.
(halaman 18)

"Uhm .... Begini tadi pagi aku baru saja mendapatkan teman sebangku. Dia murid baru di sekolah. Namanya ... Zarra. Menurutku dia anak yang aneh."
"Matanya yang sebelah kiri ditutup eyepatch."
(halaman 22)

Ketika sedang memikirkan Zarra, tiba-tiba saja aku memikirkan mimpi buruk yang selama ini datang menghantui.
"Pa ..., Papa, kan, dokter .... Aku mau nanya sesuatu boleh enggak?"
"Tentu saja boleh. Kamu ini seperti berbicara dengan siapa saja." papa menyunggingkan senyum.
"Pa, akhir-akhir-akhir ini aku sering memimpikan hal yang sama. Apakah itu wajar?"
"Papa tidak yakin. Tapi sepertinya kamu mengalami lucid dream."
(halaman 23)

Shena kelihatannya berpikir keras. Dia seperti hendak membicarakan sesuatu. Namun, bingung mengatakannya. "Sassha ..., kupikir papamu kali ini salah. Kamu tidak mengalami lucid dream!"
Aku menjadi bertambah bingung. Apa maksud perkataan Shena sebenarnya? Seakan dapat membaca pikiranku, Shena berkata, "Lucid dream adalah suatu kondisi si Pemimpi bisa mengendalikan kehendaknya bukan?"
(halaman 33)

"Tapi, ini kebalikannya  denganmu kamu sama sekali tidak bisa melakukan apa yang kamu mau di dalam mimpi itu, kan? Kamu bilang ingin menggerakan kaki dan membuka mulut, tapi nyatanya tidak bisa melakukannya, kan? Dan lagi, walaupun lucid dream bisa melanjutkan mimpi, tapi tidak mungkin kamu mengalaminya setiap hari?"
(halaman 34)

Aku ... mengalami kecelakaan.
(halaman 41)

... seluruh tubuhku merasakan getaran hebat. Rasa sakit luar biasa mendera sekujur tubuh. Dan lagi aku paling takut darah.
Perlahan-lahan pandangan mataku kabur dan lama-lama menjadi hitam pekat.
(halaman 42)

"Ma, Pa, sudah berapa hari aku koma?" tanyaku polos.
"Kamu hanya pingsan beberapa jam. Kami menemukanmu dalam keadaan pingsan  di seberang jalan." cerita Celia.
Aku mengangkat alis. Tidak mungkin kecelakaan motor itu khayalan belaka. Darah itu benar-benar nyata! Aku benar-benar melihat tubuhku sendiri bersimbah darah.
(halaman 49)

"Zarra, kemarin aku sebenarnya benar-benar tertabrak bukan?"
(halaman 55)

"Tidak. Kamu refleks menjatuhkan diri ke trotoar, jadi tabrakan itu bisa kamu hindari," Zarra menjawab.
"Kamu ... tidak berbohong, kan?"
"Tidak. Untuk apa juga aku berbohong?"
Baiklah. Aku menyerah.
(halaman 56)

"Zarra ..., boleh nggak aku bertanya sesuatu?"
Zarra berhenti melakukan pekerjaannya. Dia menurunkan sendok. "Boleh saja."
"Mata kirimu ... mengapa selalu tertutup? Apakah mata kirimu mengalami gangguan?"
...
Lagi, Zarra meraba mata kirinya. "Tidak parah. Tapi, kurasa belum saatnya aku menunjukkan hal ini pada kalian."
(halaman 63)

Dheg! Hantu itu .... Gadis mengerikan itu ... kembali muncul di hadapanku. Kali ini, dia berseragam sekolah yang sama denganku. Matanya yang melotot membuatku semakin ketakutan. Bunyi giginya terdengar bergeremetak.
...
"Selesaikan masalah itu ...."
(halaman 71)

... tanpa basa-basi lagi wajahnya dia palingkan ke arahku dan dia (Zarra) ... menyibakkan poninya.
Dheg! Matanya .... Matanya berbeda dari mata yang sebelah kanan. Mata kirinya berwarna merah! Aku menelan ludah. Aku masih tercekat.
"Mata kiriku ini adalah boneka," jelas Zarra.
...
"Awalnya dokter menganggap ini ide gila karena aku bisa meninggal. Ya, mungkin dokter benar .... Aku memang meninggal dalam operasi itu."
(halaman 82)

"... Sassha, sejujurnya sewaktu kamu kecelakaan motor, tubuhmu benar-benar parah. Darahmu di mana-mana. Begitu aku mau menolong, darahmu yang tadinya bersimbah itu mengering dan menghilang tanpa bekas."
...
"... Saat itulah aku tahu bahwa kamu adalah ... orang mati!"
...
Aku berusaha mengontrol emosi. Meski air mata sudah menetes. "Lalu mimpi itu? Gadis itu? Bagaimana dengan mereka? Apa hubungannya mereka denganku?"
"Hantu gadis itu .... Dia ... dia adalah kamu! Dia selalu menghantuimu melalui mimpi, melalui dunia nyata karena ingin mengembalikan ingatanmu mengenai kenyataan pahit dalam hidupmu. Bahwa ... kamu sudah meninggal," lanjut Zarra.
(halaman 82)

Tanpa ragu aku melukai tangan menggunakan silet. Kupikir luka sayatan itu sudah cukup dalam. Bagi manusia biasa, luka itu akan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk disembuhkan.
"Ouch!" aku merintih ketika darah-darah itu mulai mendesak keluar. Ajaibnya itu tidak berlangsung lama. Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi darah yang tadinya mengucur keluar itu dengan cepat mengering dan menghilang. Sama persis seperti apa yang Zarra katakan sewaktu kecelakaan motor terjadi. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari mengucap kata "tidak" berulang-ulang. Tapi, inilah takdirku.
Zarra benar ....
Aku adalah orang mati.
(halaman 91)

Dua hari yang lalu aku melihat kelinci. Kemarin aku melihat rusa dan hari ini aku melihatmu ....
(kalimat puistis yang dikatakan Zarra)
.
.
.
Nah, sekian dulu, ya, resensi buku olehku. Jangan lupa membeli buku yang aku resensi oke :)
Sampai jumpa di lain waktu (aku akan meresensi buku lagi, kok! :P )

1 komentar:

  1. Halo, Dik :D

    Bukannya menyalahkan, tapi hanya mengingatkan kalau resensi berisi pernyataan tentang keunggulan atau kelemahan buku: tentang cover, gaya bahasa, alur, dan lain-lain, yang bertujuan untuk menarik minat pembaca untuk membeli. Kalau yang Adik buat ini spoiler alias menceritakan ulang cerita dari novel Alive. Pembaca menjadi tidak berminat beli karena sudah tahu jalan cerita dari novel tersebut.

    Kalau Adik mau tanya lebih lanjut perihal resensi, bisa mail Kakak di andikakaya761@gmail.com

    Terima Kasih.

    PS: JANGAN LUPA SINGGAH DI BLOGKU, YA! Kutubuku69.blogspot.com

    BalasHapus